ALAM memahami puasa, ada sesuatu yang harus kita kedepankan, yaitu niat berpuasa didasarkan atas pendekatan keimanan. Dengan dasar seperti ini, kita tentu melakukan puasa itu lebih didasarkan pada mengikuti perintah Allah SWT, bukan karena alasan-alasan lain. Adapun ada orang yang mengatakan puasa itu dapat menyehatkan badan dan jiwa, itu adalah hikmah atau manfaat dari perilaku puasa yang dilakukannya. Betulkah puasa dan Idul Fitri itu dapat menyehatkan jiwa manusia? Betul, secara ilmiah, puasa itu dapat memberikan kesehatan jiwa, di samping juga jasmaninya. Paling tidak, hal ini diungkap dalam buku karya Dr Alan Cott, yang berjudul Fasting as a Way of Life dan Fasting the Ultimate Diet. Dalam buku tersebut, Cott menyebutkan bahwa gangguan jiwa yang parah dapat disembuhkan dengan berpuasa. Penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Grace Square New York menemukan hasil yang sejalan, pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh dengan terapi puasa. Ditinjau dari segi penyembuhan kecemasan dilaporkan pula bahwa penyakit seperti susah tidur, merasa rendah diri, dapat disembuhkan dengan puasa. Sementara itu, Dr Nicolayev, salah seorang guru besar yang bekerja pada lembaga Psikiatri Moskwa (The Moscow Psychiatric Institute), mencoba menyembuhkan gangguan kejiwaan dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, ia menerapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama 30 hari. Nicolayev mengadakan eksperimen dengan membagi subjek menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan dan kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen itu diperoleh hasil yang sangat baik, yaitu banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa disembuhkan dengan puasa. Selain itu, kemungkinan pasien untuk tidak kambuh kembali selama 6 tahun kemudian, ternyata sangat tinggi. Dan ternyata, lebih dari separuh pasien tetap sehat. Berdasarkan fakta-fakta seperti itu, sudah seharusnya menjadi catatan bagi kita di Indonesia dalam mengatasai masalah kesehatan jiwa yang sudah menghawatirkan dewasa ini akibat terjadinya "perang", konflik dan lilitan krisis ekonomi berkepanjangan. Karena secara nyata kondisi seperti itulah yang merupakan salah satu pemicu yang memunculkan rasa stres, depresi dan berbagai kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data dari WHO (World Health Organization), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekira 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Dr Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, bisa kita cocokan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam hal ini, Prof Dr Azrul Azwar MPH, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi. Yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekira 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekira satu juta orang di antaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya. Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya banyak penyebabnya. Namun, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, guru besar ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologik atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria, dll), kecanduan obat dan alkohol, dll. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah asuh, hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, tekanan krisis. Dan ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stresor psikososial (baca: perkawinan, problem orang tua, hubungan antarpersonal, dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dll.-Pen), juga yang terjadi pada sebagian masyarakat di daerah-daerah sekarang ini. Ciri Kesehatan Jiwa Hidup sehat dan memperoleh derajat kesehatan yang optimal itu merupakan hak setiap orang di republik ini, termasuk masalah kesehatan jiwa. Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Makna kesehatan itu sendiri diartikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi, betapa indahnya kondisi hidup sehat itu. Adapun berkait dengan ciri utama kesehatan jiwa seseorang, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, adalah ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat mandiri, bertanggung jawab, bersikap matang, serta dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya. Kalau salah satu dari ciri utama itu terganggu, berarti kesehatan jiwa seorang individu bisa dikatakan terganggu. Dampaknya, apabila fungsi kejiwaan seseorang itu terganggu, maka ia dapat mempengaruhi bermacam-macam fungsi seperti pada ingatan, orientasi, psikomotor, proses berpikir, persepsi, intelegensi, pada kepribadian, dan lainnya. Oleh sebab itu, menurut WHO, jika 10 persen dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Sejalan dengan para digma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan yang lebih menekankan upaya proaktif-melakukan pencegahan daripada menunggu di rumah sakit- kini orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Upaya itu melibatkan banyak profesi, selain psikiater/dokter juga perawat, psikolog, sosiolog, antropolog, guru, ulama, jurnalis, dan lainnya. Penanganan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjadi community base. Untuk mewujudkan kondisi kesehatan jiwa manusia adalah setiap kita harus melakukan peningkatan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya, yaitu melalui terapi puasa.
Sumber : www.litbang.depkes.go.id
|
Halo..Salam kenal sebelumnya..Iya,saya setuju kalo puasa diniatkan untuk ibadah,dan bukan untuk mendapatkan kesehatan semata..Perkara sehat setelah menjalankan puasa,anggap saja itu bonus. :)
hayhahahay
add dunk fs ikfa di ni emailnya
ikifa_farmasi@yahoo.com
hayyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy
w alumni 2007 w mau tanya dund kalo mau jadi anggota pafi gimana sich??????????????????????????
w mau bikin SIK ni............
tolong bales yah ke email w a_meili14@yahoo.co.id
pentong