Paradigma baru apotek
00.17
Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan utama di apotek adalah transaksi dagang baik yang bersumber dari obat-obat bebas atau consumer good dan penjualan obat ethical dari resep dokter yang masuk. Meski pada akhirnya untuk mengukur kinerja apotek adalah total penjualan, namun pertumbuhan penjualan dari resep dokter tetap merupakan tolok ukur yang dominan untuk melihat keberhasilan apotek.
Tidak ada yang keliru dengan cara pandang diatas. Fakta bahwa kegiatan dagang lebih dominan tidak perlu dibantah. Jumlah resep yang masuk per hari atau per bulan yang sering dijadikan alat untuk melihat kinerja apotek juga relevan karena logikanya di apotek kontribusi pendapatan dari resep harus lebih tinggi dari lainnya. Ujung ujungnya kalau total penjualan menjadi patokan keberhasilan sebuah apotek juga sah sah saja.
Namun kalau hanya kedua hal diatas yang dijadikan alat ukur kesuksesan sebuah apotek maka akan semakin memperkuat positioning apotek sebagai usaha dagang. Padahal, apotek adalah tempat pengabdian profesi apoteker. Jadi seharusnya unsur jasa lebih dominan. Keputusan konsumen membeli obat di apotek semestinya diambil setelah melalui proses konsultasi. Anologinya bisa dibandingkan dengan orang yang akan membeli handphone. Sebelum membeli handphone biasanya konsumen mengumpulkan informasi dulu tentang merek, fitur dan harga handphone yang akan kita beli. Pada saat datang ke toko handphone konsumen akan bertanya kembali tentang handphone pilihannya. Seringkali petugas yang ada di toko handphone memberikan alternatif dengan berbagai pertimbangan. Bukan tidak mungkin pilihan dijatuhkan sesuai dengan saran petugas.
Mengelola usaha dagang berbeda dengan mengelola jasa. Karena sifatnya, apotek memang merupakan kombinasi antara usaha dagang dan jasa, tetapi unsur jasa lebih mestinya lebih dominan.
Untuk mengubah kondisi demikian, perlu dirumuskan kembali paradigma tentang apotek. Dalam paradigma baru tersebut ukuran keberhasilan apotek harus lebih didasarkan pada perbaikan kondisi pasien karena pelayanan apotek. Dengan demikian menjadi jelas positioningnya. Pasien datang ke apotek tidak hanya mendapatkan obat tetapi juga informasi yang memadai tentang khasiat, efek samping, interaksi maupun dosis obat yang didapatkan. Bahkan kalau perlu apotek memberikan pelayanan purna jual. Beberapa waktu setelah pasien mendapatkan obat, apoteker menelpon pasien untuk mengetahui kondisinya.
Dengan paradigma baru ini konsumen akan memperlakukan apotek bukan hanya tempat membeli obat, tapi lebih kepada mencari solusi atas masalah kesehatan yang dihadapi. Bahwa kalau pada akhirnya konsumen membeli obat, itu karena efek samping.
Menarik bukan ?
Tidak ada yang keliru dengan cara pandang diatas. Fakta bahwa kegiatan dagang lebih dominan tidak perlu dibantah. Jumlah resep yang masuk per hari atau per bulan yang sering dijadikan alat untuk melihat kinerja apotek juga relevan karena logikanya di apotek kontribusi pendapatan dari resep harus lebih tinggi dari lainnya. Ujung ujungnya kalau total penjualan menjadi patokan keberhasilan sebuah apotek juga sah sah saja.
Namun kalau hanya kedua hal diatas yang dijadikan alat ukur kesuksesan sebuah apotek maka akan semakin memperkuat positioning apotek sebagai usaha dagang. Padahal, apotek adalah tempat pengabdian profesi apoteker. Jadi seharusnya unsur jasa lebih dominan. Keputusan konsumen membeli obat di apotek semestinya diambil setelah melalui proses konsultasi. Anologinya bisa dibandingkan dengan orang yang akan membeli handphone. Sebelum membeli handphone biasanya konsumen mengumpulkan informasi dulu tentang merek, fitur dan harga handphone yang akan kita beli. Pada saat datang ke toko handphone konsumen akan bertanya kembali tentang handphone pilihannya. Seringkali petugas yang ada di toko handphone memberikan alternatif dengan berbagai pertimbangan. Bukan tidak mungkin pilihan dijatuhkan sesuai dengan saran petugas.
Mengelola usaha dagang berbeda dengan mengelola jasa. Karena sifatnya, apotek memang merupakan kombinasi antara usaha dagang dan jasa, tetapi unsur jasa lebih mestinya lebih dominan.
Untuk mengubah kondisi demikian, perlu dirumuskan kembali paradigma tentang apotek. Dalam paradigma baru tersebut ukuran keberhasilan apotek harus lebih didasarkan pada perbaikan kondisi pasien karena pelayanan apotek. Dengan demikian menjadi jelas positioningnya. Pasien datang ke apotek tidak hanya mendapatkan obat tetapi juga informasi yang memadai tentang khasiat, efek samping, interaksi maupun dosis obat yang didapatkan. Bahkan kalau perlu apotek memberikan pelayanan purna jual. Beberapa waktu setelah pasien mendapatkan obat, apoteker menelpon pasien untuk mengetahui kondisinya.
Dengan paradigma baru ini konsumen akan memperlakukan apotek bukan hanya tempat membeli obat, tapi lebih kepada mencari solusi atas masalah kesehatan yang dihadapi. Bahwa kalau pada akhirnya konsumen membeli obat, itu karena efek samping.
Menarik bukan ?
di zaman ini, profit/keuntungan adalah orientasi utama setiap manusia. seolah-olah tidak ada unsur lain selain uang yang kita butuhkan, padahal kita punya sisi religius yang hanya dapat dipuaskan oleh ibadah dan bentuk-bentuk kegiatan sosial lainnya. pendekatan lewat sisi religius inilah yang mestinya akan membuat setiap orang pada umumnya atau para asisten apoteker dan apoteker pada khususnya akan lebih mengedepankan jasa dibanding keuntungan
Muhammad Sonny Sanndy
jaman sekarang emang gak bs bilang tidak buat uang..tapi gak kaya gitu juga kali,toh kalo kita mati nanti uang itu gak bakal kita bawa kan?
memang uang itu penting, tapi jangan cuma mencari kepuasan materi donk,tapi kepuasan hati juga.
buat semua temenku, jangan buta karena uang ya..
good luck semuanya..
by ; nurul madaniyah ;)